Juli 8, 2025 2:03 am
13

Nama : Sri Sultan S. Saragih S.Si

(peserta residensi seniman tari dari Siantar Simalungun)

Selama 3 sesi kami peserta seniman residensi sebanyak 15 orang dibekali pengetahuan dan peningkatan kapasitas dengan 3 narasumber yang berhubungan dengan vulkanologi, mantra dan sinematografi teater, cukup membuka cakrawala pengetahuan baru perihal strategi pengembangan teater berbasis tradisi dengan titik pijak dan pemahaman dasar budaya Karo.

Sebagai alumni Geografi, ternyata aktivitas vulkanik bukan hanya ada kaldera Danau Toba, saya baru tahu bila Tanah Karo memiliki Taman Gunung Api dengan deretan Gunung Pintau, Gunung Barus, Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Gunung Sipiso piso dan Gunung Sibuaten. Gunung Sinabung paling aktif, mengalami letusan yang mengakibatkan beberapa desa di sekitar nya harus mengalami relokasi pada tahun 2010.

Perjalanan pertama kami, subuh sudah meninggalkan kota Medan. Peserta Residensi melalui lokasi titik pertama perkemahan Sibolangit dengan latar belakang Gunung Pintau. Berbeda dengan suhu kota Medan yang gerah panas, mulai menapak perbukitan hingga kaki gunung Tanah Karo kita mendapatkan cuaca dan iklim yang sangat kontras, langsung mengalami hembusan angin yang sangat kuat dengan hawa udara dingin sejuk segar.

Menyesuaikan Tubuh Simalungun dengan sesama penari residensi

Saya belajar tari simalungun kurang lebih selama 10 tahun, gerak sikap dan intuisi selama ini hampir semua mengandalkan dasar gerak tari tradisi simalungun tanpa tersentuh oleh kreasi dari ekspresi budaya luar. Kali ini bertemu dengan Lestari, penari dari Yogya yang memiliki latar belakang gerak tari asal Jawa, Kreasi dan Kontemporer. Pertemuan pertama saling mengisi dalam memenuhi unsur gerak pertunjukan, saya harus beradaptasi dengan ekspresi gerak tubuh yang ia berikan, perlahan meninggalkan tubuh Simalungun. Interaksi ini membutuhkan waktu yang lama, agar gerak tubuh bisa saling sesuai dan selaras serta bagaimana agar daya batin dapat tersambung dengan daya batin diri nya.

Kami melanjutkan koreografi tari dengan belajar dasar Landek Karo dari penari residensi lainnya Simpei Sinulingga, kemudian menyusun ulang koreografi agar lebih sempurna. Saya harus belajar langkah Karo yang berbeda dengan langkah Simalungun, jauh lebih lambat dan mendalam.  Selanjutnya, belajar landek memasuki tempo musik tradisional karo yang sedang, cepat, menuju seluk, sehingga tubuh mengalami suasana psikologi baru. Dalam tahap belajar pertama, bila tubuh mulai bergerak cepat sangat menguras tenaga hingga detak jantung bertambah dan napas tersengal sengal, tetapi semakin lama semakin memuncak, mendapatkan pencapaian suasana relaksasi dan meditatif.

Menambah komposisi koreografi, kami menyusun ulang kembali bersama penari residensi berikutnya Priska br Bangun yang saling mengisi pola lantai, menjaga keseimbangan dan menambahkan unsur seluk salah satunya dengan kibasan uis menghalau bala. Bahasa simbol gerak ini saya pahami bagian dari ungkapan dan ekspresi spiritual Karo.

Belajar Landek Karo di desa Doulu

Beberapa hari dalam mempelajari landek Karo di desa Doulu kaki Gunung Sibayak dengan pelatih tari Riama Beru Ginting atau sering disebut Mama Rabun, saya merasakan hubungan gunung dengan budaya manusia melalui gerakan tari. Dalam khazanah gerak, Landek Karo memiliki kemiripan dan kesesuaian dengan Tor Tor Simalungun, salah satu nya kelembutan gerak tangan dan ondok (naik turun kaki mengikuti irama musik). Hal yang berbeda, Landek Karo  memiliki ayunan lebih dalam, lebih lama dan banyak bertumpu pada lutut.

Tari Landek Sada Tan, Lima Serangkai, Terang Bulan, Roti Manis, Tari Piso Surit, diperlihatkan oleh penari remaja Doulu dalam persiapan mereka mengadakan kerja tahun, selain memiliki pesan dan pola cerita nya sendiri, bagi saya yang ikut belajar langsung menyelami landek, semua sangat membutuhkan banyak ayunan lutut. Asumsi saya berhubungan dengan pewarisan pengetahuan nenek moyang, bagaimana interaksi menghadapi geografi alam gunung dan perbukitan yang memiliki jalan turun naik dan terjal.  Landek Karo menyiratkan daya resistensi, kegigihan dan ketekunan menghadapi hambatan dan rintangan tanpa harus bersikap “keras”, tetapi masih dapat bersikap lembut dan tegas meyakinkan. Tanpa sadar, landek walaupun letih dan pegal, telah melatih kekuatan kaki saya untuk selalu kuat dan siaga.

Semua bahan dasar pengalaman ini, melebur dalam sebuah naskah pertunjukan yang dirancang dalam alur dramaturgi “The Last Parlanja Sira” untuk mengungkapkan cerita rakyat perihal Guru Penawar Reme, Tandang Kumerlang, Tandang Suasa, Erlana simbolik dari tiang penyangga Gunung Sinabung – Gunung Sibayak hingga pertempuran identitas dengan Pesisir yang diwakilkan oleh ekspresi Melayu.

Program Tendi Karo Volkano dalam bingkai Sinematografi Teater semakin menarik karena melibatkan banyak unsur disiplin ilmu seni yang digarap bersama 15 seniman residensi, out put nya berupa sinema yang akan menjadi garda depan pertemuan teater dengan generasi kekinian.

Apakah terobosan yang di dampingi oleh Dana Indonesiana ini dapat lahir menjadi kolaborasi yang menarik, memiliki daya surivive dan bisa berkelanjutan ? Mari kita saksikan pertunjukan acara puncak hasil dari proses 20 hari penciptaan karya kreatif inovatif pada hari Sabtu, 10 Agustus 2024 di Puncak DP, Raja Berneh Desa Semangat Gunung di kaki Gunung Sibayak yang melibatkan remaja dan warga Doulu – Desa Semangat Gunung.

Harapan saya, selain dari menggali dan mengangkat kembali alam budaya Karo, program Tendi Karo Volkano ini dapat lebih melibatkan generasi lokal, tercerahkan, mendapat pengetahuan serta pengalaman baru dari hasil interaksi 15 seniman residensi. Generasi lokal, selain  semakin mencintai seni tradisi nya sendiri dapat mengembangkan dan memajukan hingga berhubungan dengan dunia luar.

Berdiam menyelami tradisi, wibawa gunung memasuki intuisi batin, ia adalah “mahluk hidup” yang bertumbuh bersama dalam dimensi spiritual dengan gerakan bumi aktif yang terus menerus memberi kelimpahan dan kehidupan bagi manusia, bersemedi dalam diam sebagai sesama pejalan hidup yang terus menyempurnakan diri dalam perjalanan menuju Tuhan.

Relasi dan komunikasi kedua “mahluk hidup” antara Gunung dan Manusia,  terjalin dalam bahasa mantra. Sungguh dahsyat……

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *