Oktober 15, 2025 5:54 pm

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, sub-holding, serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada periode 2018-2023. Mereka diduga bersekongkol untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum.

Mengutip pada Rabu (26/2/2025), Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa para tersangka terdiri dari empat petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga pihak swasta.

Kasus ini berawal dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemenuhan minyak mentah dari dalam negeri berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018. Namun, tersangka RS, SDS, dan AP diduga merekayasa keputusan dalam Rapat Organisasi Hilir (ROH) dengan menurunkan produksi kilang. Akibatnya, minyak mentah dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan kebutuhan minyak harus dipenuhi melalui impor.

Di sisi lain, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis dan spesifikasi, meskipun masih sesuai dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta dapat diolah sesuai standar yang ditetapkan. Penolakan ini menjadi dasar bagi ekspor minyak mentah Indonesia.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga akhirnya mengimpor minyak mentah dan produk kilang dengan selisih harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak produksi dalam negeri.

Dalam ekspor minyak ini, tersangka SDS, AP, RS, dan YF diduga berkolusi dengan broker minyak MK, DW, dan GRJ. Mereka mengatur harga demi keuntungan pribadi dengan cara memenangkan broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui mekanisme spot yang tidak memenuhi persyaratan.

Lebih lanjut, RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak secara ilegal. DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP untuk menaikkan harga spot, meskipun belum memenuhi syarat. Hal ini kemudian disetujui oleh SDS untuk impor minyak mentah dan RS untuk impor produk kilang.

Penyidik juga menemukan indikasi penggelembungan harga (mark-up) dalam pengiriman minyak impor oleh tersangka YF, yang menyebabkan negara harus membayar biaya tambahan sebesar 13-15 persen.

“Sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ujar Qohar.

Tindakan para tersangka ini juga berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat, sehingga pemerintah harus menambah subsidi dari APBN.

Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian sebesar Rp 193,7 triliun.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *